Keajaiban Toko Kelontong Namiya: Kontradiksi Untuk Menjadi Tidak Netral dan Tidak Overthink

Hello, fellas! (ciaelah, fellas banget gak tuh)

Pada kesempatan yang berbahagia, namun tetap mematuhi prokes ini, izinkan saya untuk menceritakan sebuah buku yang baru banget kelar diriku baca. Yang which is adalah, tak lain dan tak bukan:

Keajaiban Toko Kelontong Namiya oleh Keigo Higashino (sumber: nyolong google)

Buku ini nge-hype banget di kalangan warga litbase twitter, jadilah saya tertarik untuk mengikuti hype-nya karena buku-buku yang nge-hype di litbase tuh seringkali emang worth to read dan pantas untuk di-hype-in!! Sangat tidak menyesal langganan gramedia digital (gak diendorse) demi baca buku ini. 

Genrenya sangat comfort genre saya sekali: fantasi X slice of life.
- Fantasi: tiga orang pencuri masa kini bersembunyi di sebuah toko kelontong yang ternyata adalah toko kelontong ajaib karena toko tersebut, pada hari itu, tersambung ke waktu 33 tahun yang lalu. Uniknya, yang ber-timetravel bukanlah manusia, melainkan surat-surat yang isinya meminta saran tentang kehidupan pengirimnya. Permasalahan 33 tahun lalu itupun coba untuk dijawab oleh tiga orang pencuri alay itu.
- Slice of life: masalah-masalah yang dimiliki oleh para pengirim surat itu seolah menyiratkan bahwa hidup ini harus memilih, karena mereka semua seperti dihadapkan pada pilihan hidup yang membingungkan. Pilihan yang harus dipilih pun sebenarnya sangat klise, mulai dari pacar atau karir, passion atau keluarga, uang atau harga diri, hingga kabur atau bertahan.

Sesi perkenalan dengan tiga pencuri cukup boring dan monoton, tapi mulai memasuki masalah pertama, langsung intens, walaupun permasalahannya kurang bisa relate sama diriku yang jomblo ini: karir atau pacar. Mulai dari masalah pertama ini, mereka sudah menyadari bahwa surat ini tidak berasal dari masa ini, melainkan dari waktu yang lalu. Dengan mengetahui apa yang terjadi pada waktu yang telah lalu, tiga pencuri ini berhasil memberikan saran terbaik. Hingga seolah sang pengirim merasa sedang berkomunikasi dengan orang dari masa depan (ya padahal kan emang).

      
Trying to give you spoilers without context with 4 pictures I stole from Google ^_^

Cerita selanjutnya cukup sedih dan kayak what the fuck aja gitu. Orang ini punya masalah antara mengejar passion atau melanjutkan usaha orang tuanya yang sudah sepuh. Mungkin pas baca cerita ini gua terlalu judging dan berapi-api, kayak, "kok lo telek banget sih jadi anak?" tapi ternyata ending-nya bikin sekali lagi mengucap what the fuck

Yang jadi favorit gua di buku ini ada di BAB 4, tentang memilih untuk kabur atau bertahan. Btw, BAB 3 menceritakan tentang si pemilik Toko Kelontong, yang jelas dan cukup tertebak, bernama Namiya Yuji. Di BAB 3, juga membahas gimana kehidupan dia dulu, sekarang, dan hubungan dengan anak, cucu, hingga cicitnya. 

Kembali ke BAB 4, cerita ini cukup relate sama keadaan gua walaupun gak 100% sama, bahkan gak 50% juga sama, tapi gua bener-bener bisa dan pernah ngerasain apa yang dirasain oleh pemilik masalah ini. Dia tanya kepada si pemilik toko, apakah sebaiknya dia kabur, bertahan, atau salto? (ngga ada salto deng, ini kalo gua yang nanya mungkin) Si pemilik toko menyarankan dia untuk bertahan, menghadapi hidup ini dengan optimis dan penuh kepercayaan akan "semua akan indah pada waktunya." Spoiler dikit, akhirnya dia milih untuk kabur, tapi tau apa? Yang ditinggalkan ternyata tetap bertahan dan berkorban. Gua nangis jelek banget baca ini dan bener-bener kayak dijedor di tempat. Karena ternyata, memang benar, segala pilihan akan ada konsekuensinya. 

Gua diem bentar ketika BAB 4 ini habis. Segala pemikiran jahat, buruk, dan pengecut yang ada di kepala seolah ngeledek gua banget. Mereka seakan ngomong, "nah liat kan, makanya lu jangan bego." Dunia ini emang kejam dan terasa seperti tai kambing, tapi kadang yang bikin permen coklat jadi rasa tai kambing itu ya diri sendiri. Diri sendiri yang milih untuk menyimpulkan bahwa benda yang warnanya coklat dan bulat-bulat pasti tai kambing, padahal mungkin ada chic choc di antaranya. Ibaratnya dari butiran itu gua disuruh milih salah satu, trus dengan segala pertimbangan akhirnya gua ngambil satu butiran itu, tapi karena gua terlalu memikirkan apakah gua ambil chic choc atau tai kambing, gua akhirnya marah sama keadaan dengan dalih, "kenapa juga gua harus milih antara chic choc dan tai kambing?" Saking marahnya, gua sampe ga sadar kalo orang lain pun sama, harus milih juga, termasuk orang lain yang cukup berarti untuk gua. Gua gak cukup peduli kepada dia yang ternyata ngambil tai kambing dan harus menelan itu sampai sekarat. Sementara apa yang gua pegang sebenar-benarnya adalah chic choc.

Di akhir buku ini yang dikemas dalam masalah hidup yang terakhir, dijelasin kalo ternyata semua tokoh dan cerita ini saling berkaitan satu sama lain dengan sebuah benang merah yang membuat segala keajaiban itu terjadi. Sebenernya gak di akhir-akhir banget sih, sambil jalan juga dijelasin dikit-dikit. Menurut gua hal ini menjadi plus sekaligus minus dari buku ini, plusnya semuanya jadi terlihat lebih menarik dan lebih OALAH. Sedangkan minusnya, karena gua lagi sibuk menangis, gua jadi pusing sendiri, kira-kira simulasinya seperti ini: "lho ini siapanya itu?" "hah ini jadi apanya si eta sih?". Mungkin juga karena tokohnya terlalu banyak dan mungkin juga kalo nonton film-nya gak akan sepusing ini. Soalnya kayaknya ini sangkut pautnya mereka ini mirip film Love Actually (2003) atau Crazy Stupid Love (2011) yang kalo ditonton di film gak terlalu pusing haha. Inteligensia gua emang udah menurun sepertinya.

Alurnya sendiri maju-mundur cantik, masalah maju-mundur cantik ini gak terlalu memusingkan dan cukup menarik, jadinya juga gak membosankan. Di buku ini gua gak punya karakter favorit karena sepertinya emang lebih menekankan ke plot sih ya bukan karakter, but it was a fair trade! Karena sebenernya kalo baca buku gua sangat mencari buku yang penokohannya tuh bagus dan kuat, tapi buku ini membuka mata gua bahwa buku bagus gak selalu punya karakter yang kuat. Ya tapi harus diimbangi sama cerita/plot yang kuat. 

Segini dulu aje review berkedok curcol ini. Kapan lagi yekan nemu buku yang relate-nya sampe ke tulang? Semoga secepatnya saya bisa kembali nangis dan tertawa digital bersama tokoh-tokoh fiksi (re: semoga secepatnya gak banyak kerjaan). Peace, love, and gawl YO!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HEHEHE?

Hidup Seorang Pecundang

Si Paling Membaca Instruksi