HEHEHE?
8 Februari 2012
Hari
itu bukan hari terbaikku, bukan pula hari yang aku tunggu-tunggu. Hanya saja
sejak hari itu, hidupku tak sama lagi. Bahkan ratusan hari setelah hari itu,
aku masih mampu merasakan apa yang aku rasakan hari itu. Apa yang seharusnya
tidak pernah aku rasakan, rasa yang memabukkan.
Bukan
di sudut sekolah paling romantis kita bertemu, bukan pula di bawah gemerlap
ribuan bintang seperti lantunan lagu, hanya di satu ruang kelas biasa, ruang
kelasku yang katanya kelas terujung itu. Entah ada angin apa, untuk pertama
kalinya aku melihatmu masuk ke dalam ruangan itu. Hangat langsung menjalari
seluruh tubuhku. Tatapmu saat itu masih tertuju padanya, pada gadis pujaanmu.
Bukan, gadis pujaanmu bukanlah aku. Dia, yang bertubuh langsing bak foto model.
Dia, yang kulitnya seputih salju dan wajahnya secantik peri. Dia, yang bukan
diriku.
Berharap
kamu melihatku hanya sedetik saat itu juga. Tuhan mendengar do’aku, rupanya.
Matamu berpaling. Tatapan kita bertemu di satu waktu yang sama. Seolah kau
adalah kantung semar, aku, seekor serangga kecil ini, tak mampu berbuat
apa-apa. Aku jatuh. Jatuh ke dalam lubang. Lubang yang sampai sekarang belum
kusentuh dasarnya. Ya, kamulah dasar lubang itu. Ya, aku memang belum bisa
menyentuhmu sampai sekarang. Sampai hari ini, 11 Desember 2015.
Kalau
kuingat lagi, wajahmu memang tak setampan pangeran, postur tubuhmu bukan postur
tubuh yang diidamkan lelaki atau dicinta wanita. Aku juga tidak jatuh cinta
pada kakimu layaknya Ken Arok pada Ken Dedes. Namun, aku jatuh dalam matamu.
Ah, bagian tubuh yang satu itu memang tidak pernah pandai berbohong. Entah apa
yang ada di dalam matamu, tapi aku mampu menatapnya lama-lama kalau saja itu
tidak membuat jantungku berdegup cepat.
Kamu
berlalu. Mata kita sudah tidak dalam garis yang sama. Langkah kakimu mengarah
pada satu lorong tempat duduk. Tempat dudukku. Kamu duduk tepat di depanku.
Mata kita tak akan bertemu lagi, tentu saja, kamu duduk memunggungiku saat itu.
Kamu tertawa bersama temanmu. Teman baikmu yang juga teman baikku. Berbagi
makanan. Berbagi cerita. Sahabat.
Aku
bergegas ke luar. Entah mungkin itu yang namanya cinta pada pandangan pertama,
aku berjalan tanpa arah. Kakiku melangkah entah kemana. Pikiranku melayang.
Melayang padamu. Kamu yang masih duduk di kursi di depanku. Setelah aku sadar
betapa aku terlihat seperti keledai bodoh yang berjalan-jalan tanpa arah, aku
kembali ke ruangan itu.
Kakiku
kaku, lidahku kelu. Kamu berdiri di depan ruangan itu. Aku ingin menghambur ke
sana dan masuk dengan santai ke dalam ruangan itu. Namun, aku tak mampu. Aku
bergeming. Aku menunggumu pergi dari tempatmu berdiri saat itu. Aku tidak mau
kamu melihatku. Karena aku takut matamu dapat membaca hati ini. Membaca
pikiranku yang saat itu hanya berisi dirimu. Aku membalikkan badan saat teman
baikmu, yang juga teman baikku menyerukan namaku dari dalam ruangan itu dengan
kepala terjulur ke luar. Aku refleks membalikkan badan. Mata kita bertemu lagi.
Hai. Sapaku dalam hati pada matamu
dan langsung kupalingkan mataku ke sudut lain. Namun, aku masih bisa melihat
kamu tersenyum. Kakiku bergetar, tapi senyummu seolah menuntun langkahku ke
arahmu. Aku melangkah dengan berdebar menuju ruangan itu.
Teman
baik kita rupanya ingin meminjam buku catatanku. Aku pun hendak lekas masuk ke
dalam ruangan itu untuk meminjamkannya. Namun, kamu menghalauku. Seolah aku tak
boleh masuk dalam ruangan. Senyum manis nan iseng tersungging di bibirmu.
Kemudian kamu tertawa karena berhasil mengerjaiku.
Iya, kamu
sangat berhasil mengerjaiku dan juga mengerjai perasaaan ini. Bibirku tak kuasa
menyunggingkan senyuman dan gelak tawa pun keluar dari mulutku. Hanya itu yang
bisa aku lakukan untuk menutupi kegugupan ini. Debaran jantung yang tak karuan,
perasaan yang begitu tercampur aduk, kupu-kupu yang mulai berterbangan dalam
perut, hingga lidahku terasa bertulang. Kakiku yang masih gemetar berhasil
melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Aku menjulurkan lidah padamu karena
berhasil melewati cegatanmu. Kamu tertawa. Lagi-lagi hanya itulah yang mampu
kulakukan untuk menutupi kegugupanku.
Itulah caramu
membawaku ke dalam lubang tanpa dasar yang lain. Bak lubang hitam yang tak
tentu akan membawamu kemana. Aku terjebak dalam lubang hitammu. Saat itu aku
berharap kamu juga ada di dalam sana dan kita akan bersama dalam lubang itu.
Aku menunggu kamu untuk datang menemaniku dalam lubang hitam itu. Aku menunggumu.
Benar-benar menunggumu.
Aku menunggumu
bersama khayalku yang berkata kamu akan datang.
Bandung,
11 Desember 2015.
Komentar
Posting Komentar