YHA.


                Terakhir, kutatap mata indahmu di bawah bintang-bintang. Terbelah hatiku antara cinta dan rahasia.
                Saat itu, canda dan gurau bercampur dengan udara dingin di sebuah kaki gunung. Aku dan kamu duduk di atas tikar yang sama. Saling memandang sejenak tanpa mengucap sepatah kata. Hanya dalam hitungan detik lidahku sudah kelu dibuat oleh tatap matamu.
                Angin berhembus seolah tak ingin ada kesunyian canggung di antara kau dan aku. Kata demi kata meluncur dari mulutmu, juga mulutku. Bertukar kisah kasih yang telah lalu, bercerita mimpi dan rasa ragu. Tak ada bujuk rayu, tak pakai malu-malu, karena aku dan kau sama-sama tahu, bahwa kita hanyalah sekutu.
                Riuh rendah gelak tawa kawan lainnya menyudahi obrolan kita yang panjang lebar itu, perbincangan antar teman sepermainan yang lain pun dimulai. Mengobrol tentang kekurangan dan kelebihan, kebencian dan kesukaan, terutama teman kesukaan masing-masing pribadi.
                “Kau.” katamu sambil menatapku. Aku hanya terdiam dan menyangkal. Sangkalan yang, tidak kusangka, aku sesali hingga bertahun setelah kejadian itu. Aku tertawa, dan sesaat kemudian kita hanya bertukar senyum. Tergelak sendiri-sendiri. Mataku juga tatap matamu, adakah hasrat yang mungkin terlarang?
                Malam-malam selanjutnya adalah malam-malam yang kuhabiskan bersamamu. Malam-malam dimana kau adalah orang terakhir yang aku lihat dan ajak bicara sebelum tidur. Malam-malam yang akan selalu tersimpan rapih di dalam kotak memoriku tentangmu. Malam-malam yang, jika boleh, ingin ku alami sekali lagi untuk kuperbaiki.
                Segala yang ada pada dirimu, sangat baik. Semuanya. Aku tahu dan sadar betul akan itu. Hanya saja, aku terlalu takut untuk mengatakannya padamu. Aku merasa tidak pantas untukmu, tapi di sisi lain aku merasa tidak seharusnya mengatakannya lebih dulu. Hingga kawan lain yang mengatakannya lebih dulu kepadaku, juga kepadamu. Ya, mungkin kita berdua adalah sesama pengecut cinta yang dipertemukan oleh keputusan kita.
                Sampai pada akhirnya, seseorang lebih dulu mengatakannya kepadamu. Tentang betapa baik dan indahnya kamu. Aku mengerti, tak seorangpun dapat menolak pujian, seburuk apapun pujian itu. Tak terkecuali dirimu, hatimu. Jatuhlah hatimu padanya.
                Ketakutan itu terjadi. Ketidak-inginanku akan kehilanganmu akhirnya nyata. Kamu memudar dalam pandanganku. Seolah aku juga berada di titik buta hatimu. Hingga perasaan ini frustrasi karena sandaran kokohnya bertolak dari tempatnya, menyisakannya mengambang bimbang dalam lautan luka.
                Tak satupun kata terucap dariku padamu dalam satu caturwulan. Tak satupun kata terucap darimu untukku dalam satu caturwulan. Hanya tubuhmu saja yang berlalu lalang di depanku, tapi sosokmu sudah tidak kukenali lagi.
                Namun, tiba-tiba kau ada yang punya, hati ini terluka.
Bolehkah aku terluka karena ini? Hinakah aku yang cemburu pada sosok yang berhasil memenangkan hatimu, karena aku tidak?
Wanita itu sempurna. Otaknya seencer susu murni, wajahnya semanis gula putih, dan sikapnya bagai permaisuri. Aku tahu, untuk mendapatkan wanita sesempurna dia tidaklah semudah mendapatkan gadis ingusan sepertiku. Kamu pun memilihnya.
Aku mengenal wanita itu cukup baik. Aku mengetahui kalian bersama pun darinya. Aku mengerti bahwa aku telah melakukan kekeliruan dan keterlambatan juga darinya. Sampaikan salamku dan ucapan terima kasihku padanya, agar dia tahu bahwa dialah yang telah menyadarkanku dari kebodohanku sendiri.
Luka-luka dihatiku mulai mengeluarkan darahnya melalui mataku. Ya, akhirnya aku menitikan air mataku lagi untuk seorang pria, setelah sekian lama. Ya, aku menangisimu di atas motor seorang pengemudi aplikasi ojek daring. Mengutuk keterlambatanku mengatakan perasaanku padamu. Menghujat segala sangkalanku atas rasa yang ada antara aku dan kau. Perasaan ini tercampur aduk, setelah akhirnya roboh karena kehilangan tempatnya bersandar.
Kau terindah ‘kan s’lalu terindah, aku bisa apa untuk memilikimu?
Dengan kisah ini, aku hanya ingin berterima kasih karena telah pernah menjadi bagian hidupku yang, terlambat kusadari, sangat berarti. Terima kasih karena sudah membuatku mengerti akibat dari keterlambatan adalah kerugian untuk diriku sendiri. Terima kasih karena sudah memberi kenangan-kenangan terindah di masa sulitku. Dan, terima kasih karena telah membuatku mengerti betapa mengerikan dan menyakitkannya patah hati itu.
Semoga kamu bahagia dengan atau tanpa saya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HEHEHE?

Hidup Seorang Pecundang

Si Paling Membaca Instruksi