Hidup Seorang Pecundang

Cukup, berhentilah aku hidup sebagai seorang yang kalah.

Bagi para pecundang, waktu tidak akan pernah menjadi sahabat, pun tak pernah sedikit memihak. Memang, manusia boleh pergi dan datang kemana pun, kapan pun, sesuka hatinya. Namun, sampaikah otak berpikir jika akan ada hati yang (merasa) diperlakukan semena-mena? Atau memang tidak pernah ada perasaan dan akal sehat yang mendasari semua perlakuan ini? 

Mungkin memang harus ada yang mengalah dalam pertarungan walau mungkin belum kalah. Siapa lagi yang akan mengalah kalau bukan si pecundang? Menjadi budak penyesalan atas kesalahan orang lain, menjadi abu atas kekalahannya. Mungkin juga ini bukanlah kesalahan orang lain. Ya, namanya juga pecundang, apa sih yang dia bisa lakukan selain menyalahkan orang lain? Semut di seberang lautan terlihat, gajah di pelupuk tak kasat mata. 

Harusnya sadar, bangun. Hidup ini lapang perjuangan, bukan hanya ada yang punya. Sang Empunya pun mungkin menggelengkan kepala melihat nihilnya usaha. Alih-alih memperbaiki diri, penyangkalan malah dipilih sebagai jalan pintas. Keadaan pun dipersalahkan, memangnya keadaan tahu kalau keadaannya akan seperti ini? Apa tidak bosan menyalahkan keadaan?

Seperti air, mencoba mengikuti bentuk wadahnya, malah dikata tak punya bentuk. Namun, ketika merasa cukup dengan mempertahankan apa yang dimiliki dan dipercaya, usaha lagi-lagi ditanya. Menilai orang menuntut lebih, padahal apa sulitnya memohon untuk dituntun? Gengsi tidak akan memberi makan. Menyimpan dengki pada orang yang merayakan hidupnya, sekalipun ada pilihan untuk turut berbahagia.

Padahal, sebenarnya apa yang seharusnya dicari dan diraih di muka bumi ini? Tidak ada yang tahu, tidak ada yang mengerti.  Pun juga ia, otaknya kosong. Yang ia tahu hanya mencari kawan dan rekan yang akan menyembahyangkannya saat ia harus menapaki kehidupan baru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HEHEHE?

Si Paling Membaca Instruksi